Iseng setelah Ashar membuka Photoshop, saya tak tahan untuk melukis nenek ini. Wajahnya polos dan posenya memprihatinkan, mengundang setiap orang menyumbang beberapa ribu untuknya.

Saya tak punya wacom dan pulpen grafis sejenisnya yang biasa dipakai seniman digital, jadi senjata utama saya adalah mouse Rp30 ribuan. Sudah setahun lebih saya membiasakan diri melukis dengan mouse dan Photoshop. Tidak ada tracing atau menelusuri garis pandu tentu saja; semua dilakukan selayaknya menggambar biasa di kanvas, kertas atau dinding rumah.

Duapuluh tahun lebih yang lalu, ketika saya masih kecil, saya gemar mecoret-coret wajah di kursi di ruang tamu rumah saya. Bentuknya sederhana--bulat untuk mata, garis untuk mulut dan segitiga untuk hidung. Kakek dan nenek saya memarahi dan selalu membersihkan coretan saya itu, meski goresannya tidak betul-betul hilang. Kini setelah dewasa, rupanya kegemaran itu tak berhenti. Tapi kali ini saya menggambar bukan di kursi lagi, melainkan di sebuah tempat bernama digital, baik dari Sketchbook di ponsel ataupun dari Photoshop di laptop.

Saat melihat wajah tua di atas, saya teringat nenek saya. Dia setua itu saat masih hidup dan masih sanggup ngomel-ngomel, dan saya menyayanginya.

0 comments: